Presiden
Keempat, Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949,
ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat
sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke
Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang
terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah
dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri
agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama
Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan
dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di
rumahnya.
Sejak masa
kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan
mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung
jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya
mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru... Di suatu
tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami
kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian
ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya,
Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi
ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta.
Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat
kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus
Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi
wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari
perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur
dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk
menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga
melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan
apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada
tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur
sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah
pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal
di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di
Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis
untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkimpoiannya dilaksanakan
ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman
Pendidikan
Pertama kali belajar,
Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan
kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia
telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping
belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa
Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk
Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa
Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh
orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan
dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Setelah lulus dari
Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada
tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil
mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik
Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula
pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup
dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah
Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di
SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’shum
Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi
bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Setamat dari SMEP Gus
Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah.
Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan
guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan
ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah
bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan
keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa
seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran.
Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor
dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik
yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar
yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai
menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan
semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping,
jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat
tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di
Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan
dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan
tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun,
sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang
ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke
tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir
untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir,
ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar,
akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia
merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di
Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi
perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku
dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Meski demikian, semangat
belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk
belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan
tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak
sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut.
Perjalanan
Karir
Sepulang dari
pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi
guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin
Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris
Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis.
Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat
tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian
banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai
bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya,
kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.
Pada tahun 1974 Gus
Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng
Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan
undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan
kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat
dalam kegiatan LSM.
Pada tahun 1979 Gus
Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada
awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus
Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama,
sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin.
Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan
kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap
‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus
PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia
(FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus
Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai
K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar
ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di
pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat
(1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat
presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak
hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu,
mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan
kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan
kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid
0 komentar:
Posting Komentar